Jumat, 19 Desember 2008

segala yang tak hendak hilang

tembok berlin boleh runtuh.
tapi yang kukuh adalah jiwa yang resah akan desah darah yang paling hibah

Heri

Handphone berdering dari saku levi's-nya. Heri, seorang mahasiswa universitas negeri berstatus BHMN di Bandung, melamun di tempat duduk batu beton yang berhiaskan kerikil-kerikil sungai pernik aquarium. Pinggir kolam yang keruh, di tengah taman kampus.

Wajahnya meraut kemurungan langit selepas senja. Kusam. Kepalanya tertunduk. Ia menanti seseorang yang pasti datang hari ini. Sari, Kekasih hatinya. Matanya kosong menatap riak air kolam.

Angin berkelebat mengibaskan rambut Heri yang gondrong bergelombang, acak-acakan. Beberapa helai rambutnya berwarna putih. Sisanya pirang, tapi bukan karena cat rambut.

Pikirannya sekusut rambut, penampilan, tekanan hidup dan tuntutan masadepannya. Biaya kuliah semakin mencekik. Sudah lebih dari satu setengah tahun orang tuanya tak lagi mengiriminya uang untuk biaya perkuliahan apalagi kebutuhan hidupnya. Setiap semester biaya registrasi ditangguhkan dan hampir dinyatakan cuti.

Satu setengah tahun yang lalu ia mendapat kabar bahwa, pasar tradisional tempat sehari-hari orang tuanya mengais rejeki terbakar. Berdrum-drum minyak tanah dan kelapa, tumpukan karung beras dan ketan, berdus-dus indomie serta banyak lagi barang kebutuhan sehari-hari yang baru saja dibeli dari tengkulak. Mengepul, membumbungkan mimpi dan harapan.

Sehingga tak sedikit pemilik toko syok dan akhirnya stres. Ada yang langsung terkapar kena serangan jantung saat melihat tokonya dijilati api. Pun Bapaknya Heri. Esoknya jatuh sakit dan makin hari semakin parah. Selain nama tokonya yang terbakar, nama Heri sering terigau-igau dalam rintihnya. Sementara ibu dan dua adik perempuannya yang masih bersekolah di tingkat SLTP dan SMU itu, hanya bisa menangis dan meruntuki nasib.

Kehidupan yang serba tercukupi berubah dalam semalam menjadi serba mencekik. Untung Heri mempunyai seorang kekasih hati sejak enam bulan sebelum kejadian itu dan tetap setia menyemangati pejuangan hidupnya dalam perantauan cita serta mimpi. Tapi, hari ini ia merasa telah memberatkan Sari dengan keadaan yang serba kesusahan.

Mungkin ia sudah lama mati kelaparan, jika tujuh belas bulan yang lalu Sari tidak mengenalkan Heri pada pamannya, bandar beras. Sehingga ia punya pekerjaan sepulang kuliah, mengecek pemasukan dan pengeluaran beras dari gudang. Walau seringkali telat mendapatkan bayaran, karena daya jual yang bersaing dengan pemerintah yang mengimpor beras dari luar. Setidaknya ia memiliki uang yang pas-pasan untuk biaya perkuliahan, membayar sewa kos-kosan --berparuh dengan temannya-- dan keperluannya sehari-hari.

Suara handphone-nya masih berdering di saku levi’s kumalnya yang berwarna hitam, robek-robek pada lutut. Ia mengabilnya. Di layar tertera nomor 0231661320. Memanggil. Sebuah nomor kode telepon kota asalnya. Sebelum ia menjawab panggilan itu hatinya bertanya-tanya, ' siapa gerangan yang menghubungi handphone-ya itu?” ' Ia tahu bahwa telepon rumahnya telah dijual, pun handphone Bapak, Ibu, dan Adiknya yang SMU. Dengan rasa sungkan Heri akhirnya menjawab panggilan itu.

'Ya...'

' Halo, Assalamualaikum,' jidatnya mengerut. Suara berat yang menyapa itu sudah tak asing lagi di telinganya.

'Waalaikiumsalam. Dengan siapa ini?” ' Heri menjawab dengan nada rendah. Tatapannya masih kosong. Tubuhnya terbungkuk. Tangan kiri menyangga kepala sambil meremas-remas rambut. Menjawab sapaan salam itu dengan malas.

' Ini Mas Jafar, Her!' terperanjat. Heri mengubah posisi duduknya. Menegak. Wajah murungnya terbasuh sapaan hangat tetangga rumahnya, Mas Jafar.

' Eh. Mas Jafar. Dikira siapa. Gimana kabar keluarga, Mas? Sehat!

' Alhamdulillah, sehat wal'afiat, Her.'

' Ya. Kalau begitu syukurlah.' Manggut-manggut. 'Sedang musim apa nih di sana sekarang, Mas? '

' Lagi musim mangga, Her.'

Heri memindah tangankan Hendphone-nya. Ia kembali mengenang kembali suasana kampung halamanya yang panas dan gersang itu. Sebuah kota kecil dengan gedung walet yang kokoh bertengger di sepanjang pinggiran jalan Let. Jend. S. Parman.

' Tumben nelepon? Ada sesuatu yang hendak disampaikan, Mas?” '

' Memang, ada sesuatu yang harus Mas sampaikan padamu, Her. Ibumu.”'

' Apa yang terjadi pada Ibu, Mas?” ' cemas. Debar jantungnya menggebu. Gelisah. Sunyi. Hanya terdengar hembusan nafasnya yang memburu.

' Ibumu sakit, Her. Lekaslah pulang ke rumah! Dalam igaunya, hanya namamu yang terucap,' hening. 'Mas nggak tega melihat keadaan Ibumu. Beliau butuh kehadiranmu, Her. 'lanjutnya.

' Ibu ....' matanya memerah. Kantung air matanya menebal, membendung air mata. Dan akhirnya membrudal. Mengalir tak ragu, membeceki pipinya. Entah, sudah berapa lama air asin itu tak membeceki pipinya yang berminyak. Mungkin satu setengah tahun yang lalu, saat ayahnya meninggal dunia. Menanggalkan hidup pada qadar.

' Hanya itu yang bisa Mas kabarkan, Her. Pulanglah! Kasihan Ibumu.”'

'Makasih, Mas.”'

'Ya. Assalamualaikum,'

'Waalaikumsalam,' mengisak. Panggilan pada Hendphone-nya ditutup. Dan dikantonginya kembali. Disekanya air yang deras mengalir di pipi. Gelisah dan melemas. Kembali terduduk menunduk menyembunyikan kehampaan hatinya yang terpancar dari air mukanya.

'Maaf, aku telah membuatmu lama menunggu, Her.' suara lembut mengusik kesunyian hatinya. Ia menengadahkan muka. Matanya yang layung langit senja itu menatap Sari yang masih berdiri. Dan kembali menunduk

Sari duduk di samping Heri. Taman menjadi serasa sunyi. Riuh seolah bisu. Desir angin sesekali meniupkan hawa dingin sisa pagi itu. Matahari masih bersembunyi di balik rindang tirai daun pohon beringin. Riak, kecipuk ikan dalam kolam serta hujan daunan pohon beringin yang kuning berguguran. Puitiknya.

'Apa kau mulai merasakan ada sesuatu yang menganjal dengan hubungan kita akhir-akhir ini, Sari?' Heri memulai pembicaraan.

'Tidak. Aku tak merasakan ada sesuatu yang salah dengan hubungan kita.”' keningnya mengernyit, matanya menyipit. Kepalanya menggeleng, pelan.

' Kau percaya padaku, Sari?' menatap tajam mata Sari yang jernih.

'Ya. Sangat. Aku sangat mempercayaimu.”' Heri kembali tertunduk.

' Sebenarnya aku berbohong padamu tentang cintaku, Sari. Bahkan aku telah membohongi perasaanku sendiri selama ini.' sambil menunduk.

'Maksudmu?' tak mengerti.

' Selama kita menjalin asmara, sebenarnya hatiku masih terpaut pada perempuan lain. Perempuan yang kukenal sebelum mengenal dan memadu kasih denganmu.” '

'Her, kau?”'

' Ya. Kau becinta hanya dengan jasadku, tapi tidak dengan hatiku. Mata yang kau tatap sebelum matamu pasrah menutup, adalah mataku yang kabur dengan bayangnya yang makin pekat. Debar yang kurasa saat nafasmu memburu di hadap bibirku, tak seguncang debar jantungku seperti saat nafasnya mendesah di bibirku yang mulai melekat dengan bibirnya dan saling melumat. Melemaskan hati dan jiwaku. Ya. Aku selalu saja membayangkan bibirnya yang merah pasi lagi kuyup, saat berciuman denganmu. Agar kau benar-benar merasakan hangatnya ciumanku.”' menatap sesaat dan kembali tertunduk.

'Ternyata kau....!' pelan, terbata. Matanya memerah.

'Tapi aku pernah mencoba untuk menepiskan bayangnya, Sari. Namun selalu gagal. Karena dialah yang pertama kali memberikan ciuman terhangat yang paling mendebarkan jiwaku.”' wajahnya mencoba meraih simpatik.

Sari berbalik, berlari. Menjauh. Ia tak mampu menahan lebih lama lagi air matanya yang mulai deras mengalir di pipinya yang merah.

' Ternyata, segala yang kuberikan tak pernah berarti bagimu, Her.' ucapnya dalam hati. Mengisak dan terus berlari.

Heri masih terduduk. Air matanya kembali membuncah. Meleleh di pipi.

' Kau terlalu bidadari untuk melebur bersama deritaku. Dan bayangan itu, adalah nafsu birahiku padamu, Sari ' Ucapnya sendu. Kepalanya tertunduk, tak mampu memandangi Sari yang berlari.

Pondok ASAS, September-Oktober 2006

Amran Banyurekso

Anomali Mimpi

    Untuk Purnama

          yang tak pernah di sampingku

Pada sisa hari yang terbakar. Kuselipkan jasad di ketiak malam, terkulum sepi, sunyi. Rebah.

====

Ia eratkan genggam jemarinya di leherku. Air liur perlahan keluar dari mulutku. Menggerayang dagu perlahan, bergelayut di janggut hingga akhirnya melayang dan tersiakan di tanah kering - tak berumput apalagi berlumut. Di tangan kirinya tergenggam erat belati kebencian yang ia rebut dari tanganku. Menyayat. Mencabik.

Matanya nanar menatapku penuh kebencian. Nafasnya mendesir, seperti badai di laut kematian sedang memburu nyawa nelayan yang tersesat, tak tahu ke mana arah pulang. Seketika tubuhku menggigil serasa ditaburi oleh butiran-butiran salju, menimbunku hingga ubun-ubun terasa beku -padahal ini musim kemarau, kucing pun menjadi kurus karena dehidrasi - setelah kutahu belati kebencian itu telah menjadi pipa penyalur darah yang keluar dari tubuhku, tertanam di ulu hati.

Banyu terperanjat dengan nafas tersengal-sengal hingga menyedak tenggorokannya dan terbatuk. Ternyata yang diimpikannya itu, masih tertidur pulas di sampingnya. Masih menikmati sisa-sisa hari yang terbakar, setelah menapakkan jejak kaki di atas sengatan bara dan teriknya kehidupan.

Dengan mata yang masih sayu, Banyu membuka bungkus rokok yang dibeli di warung dekat kosannya sore tadi. Didapatinya empat batang rokok yang tersisa. Disulutnya sebatang, ia hisap dalam-dalam.

" Kau tampak resah? " Banyu tersentak, saat suara yang entah dari mana itu menegurnya.

" Siapa kau?! Tampakkan wujudmu! " Banyu melempari segala penjuru sunyi dengan tatapannya yang beringas.

" Hey. Ini aku, teman setiamu."

" Oh, kamu toh. Aku tadi bermimpi, ia membunuhku dengan belati kebencianku sendiri."

" Ah ... itu wajar."

" Apanya yang wajar?! Setiap hari kami bergandeng tangan melewati panasnya bara kehidupan ini. Memang kuakui, aku baru mengenalnya di sini. Selepas kutinggalkan tempat kelahiranku, dan disaat-saat terakhir kutatap sinar mata yang penuh dengan pertanyaan. Di sanalah, aku mulai bekenalan dan berteman dengannya."

" Tapi kau mulai mengabaikannya, dengan keseharianmu kan? " membuncahkan bara di tubuhnya, setelah dihisap oleh Banyu.

" Loh. Kok, kamu tahu? " Banyu makin terheran dengan ucapanya.

“Arwah temanku barusan memberitahukannya padaku. Dan ia masih menyesaki ruang ini,”

" Apa kau bilang, arwah temanmu?! " Sambil mengerutkan kening, Banyu menghisapnya lagi dengan lebih dalam. Banyu merasa, perkataannya itu semakin ngawur.

" Tidak! Aku tidak ngawur. Yang kukatakan benar adanya. Itu arwah temanku! yang kau hisap umurnya perlahan dan kau hembuskan nyawanya di udara. Kini arwahnya mengepul di lembab kamar tidurmu ini. Ya, seperti yang sedang kau perbuat padaku sekarang.! "

" Kamu tahu suara bisikan hatiku? "

" Ya. Karena sebagian arwahku-lah yang memberitahukannya padaku. Lantas apakah kau tahu apa yang sebenarnya aku pikirkan terhadapmu? "

" Tidak? "

" Arwahku yang kau hisap sebenarnya ingin sekali menusuk dan mencabikmu dari dalam "

" Ah, kalau itu aku sudah tahu "

" Apakah kau tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini, Banyu?! Setelah berbulan-bulan ia menemani dan menyemangatimu detik demi detik. Dan kini kau mencoba untuk menepiskannya dari hari-harimu! "

" Ssst. Pelankan sedikit suaramu! Aku takut nanti ia terbangun oleh suaramu, " meletakkan jemari di mulut, menoleh padanya yang masih pulas tertidur.

" Aku malah ingin ia terbangun dan tahu apa yang sedang kita perbincangkan, biar lekas-lekas membunuhmu dengan belati kebencian. Seperti yang kau impikan barusan! "

Emosi Banyu tersulut, lantas dengan segera ia gilaskan tubuh sebatang rokok itu pada asbak hingga baranya benar-benar padam.

Pikirannya mulai menggerayangi hari kemarin. Berkali-kali aku membujuknya untuk melupakan masa lalu yang kutinggalkan. Aku takut ia akan marah lagi padaku.

Cahaya lampu neon yang dipasang di depan pintu luar kosan, menyelinap masuk lewat celah poster yang ditempel di kaca pintu kamar menubruki arwah rokok yang mengepul di udara. Pelangi asap. Menyorot ke arah poster Munir yang sedang mencari-cari " siapa dalang pembunuhnya ". Banyu menatap pelangi asap lekat dan kembali rebah

Sejenak Banyu mengalihkan pandangannya pada jam weker yang terletak tepat di atas kepalanya. Detakan jantung weker terasa menggebu-gebu seperti hendak mempercepat hari fananya. Dia memutar jarum alarmnya tepat pada angka enam.

=====

Jam weker mulai menjerit-jerit. Alarm yang dipasang pada angka enam mulai menusukinya dari dalam.

Walau sedikit sungkan, Ruh itu akhirnya kembali menghuni jasad Banyu yang masih dikulum oleh kesunyian pagi. Setelah bertamasya menapaki alam bawah sadar yang tak berbatas dan berdetak jantung waktu. Ruh Banyu sebenarnya enggan meninggalkan alam bawah sadar untuk kembali menempati jasadnya dan menjalani bara hari yang membosankan.

Resah getir gemuruh curug mulai mengoyak gendang telinganya. Hembus desah dinginnya udara Bandung, diam-diam menyelinap masuk lewat ventilasi udara. Ia menggigil. Selimutnya masih di tempat penjemuran sejak dua hari kemarin. Matanya masih tertutup rapat dan enggan terbuka. Tangannya mulai menggerayangi meja kecil tempat jam weker menjerit. Hentak detaknya menusukkan jarum alarm makin dalam. Hingga pekiknya mendobraki gendang telinga. Jeritannya mereda ketika Banyu menekan panel alaremnya pada posisi off.

Banyu beranjak. Menyeduh kopi susu pada cangkir yang bertuliskan Reborn Republic. " Sebuah cangkir penyemangat hidup! " gumamnya sambil menyeruput kopi itu, " Mengawali hari dengan penuh gairah. Menantang duri perintang di setiap helaan nafas. Setiap meneguknya, kurasakan lilitan tali Iblis pada jasadku putus satu persatu."

Banyu keluar dari kamar, menuju pintu terluar. Ia membuka pintu. Seketika hawa dingin menyergap dan berjejal masuk mengisi ruangan. Banyu duduk di teras kecil samping pintu. Ia terjunkan pandangannya pada jurang di hadapannya dan melayangkannya kembali pada perbukitan.

Puncak-puncak bukit dan gunung masih lekat dengan selimut kabutnya yang tebal. Bintang-bintang hinggap di kaki mereka. Warnanya putih, oranye, merah, dan kuning. Kedip cahayanya sayu, mereka lelah menyinari pekat semalaman bersama purnama. Ada yang tersangkut di tower-tower. Warnanya merah, sedetik padam sedetik menyala terus-menerus hingga ia benar-benar padam oleh mentari.

Banyu mengambil sebatang rokok. Sebelum membakarnya, ia ciumi terlebih dahulu aroma parfum tubuhnya, yang sedikit hilang karena bungkusnya terbuka semalaman. Sejenak dia cermati ia perlahan. Ternyata ia hanya diam. Bisu. Setelah beberapa lama dinantikan, kata-kata tak kunjung meluap darinya, dengan segera ia nyalakan api dan membakar ujung kakinya yang bundar.

" Mungkin, Ia adalah sebatang rokok yang pendiam. Selalu nerimo pada kodrat dan kenyataan. Atau mungkin, mereka hanya berbicara pada malam hari. Tak seperti Manusia yang selalu mengoceh, menggombal, ngerumpi, merayu, menghasut dan sebagainya. Tak kenal siang maupun malam. Hanya dalam sebuah persentase kecil, waktu manusia digunakan untuk menyebut Asma-Nya." Lamunannya terganggu. Kulitnya seperti dirasuki butiran-butiran es yang menyusup lewat pori-pori. Dari sela perbukitan pohon-pohon pinus menari menyambut kedatangan desiran angin. Pun begitu dengan pohonan besar di sekitarnya. Gemulai. Tanpa irama. Dedaunan pisang melambai perlahan. Pohon bambu mengetarkan jemari-jemarinya menirukan tarian kecak. Banyu perlahan menikmatinya.

Banyu menggigil saat desir angin yang datang entah dari mana itu melintasinya. Ia mengeratkan pelukan pada kakinya yang menekuk, dan mengendapkan pipinya di lutut kiri. Mentari mulai mendaki gunung Manglayang. Setelah mencapai puncaknya, ia menyibakkan selimut kabut dan perlahan memanjati tangga langit.

Banyu kembali menghisap batang rokok yang terlupakan sejenak. Dan ia kembali teringat pada ucapan sebatang rokok serta mimpinya semalam.

" Kau tampak resah? " Banyu tersentak. Reflek menoleh ke arah suara yang menyapanya.

" Kamu toh. Mengagetkanku saja. Tumben kamu bangun sepagi ini? "

" Aku terbangun oleh lamunanmu barusan."

" Maaf, jika ternyata lamunanku menggangu tidurmu."

" Lamunanmu bikin aku kesakitan, Banyu. Aku butuh obat atau candu penawar rasa sakitku sekarang juga! " Mukanya memerah. Matanya ranum. Ia berkata dengan sedikit terbata.

" Kau sakit! Baiklah, akan kucarikan obat atau candu penawar rasa sakitmu di kamar. " Dengan tergesa Banyu beranjak. Hingga batang rokok itu terlupakan.

" Di kamarmu tak ada obat atau candu penawar rasa sakitku. Tak ada! Yang ada hanya poster dan pamflet yang hinggap di dinding. Kaset-kaset berserakan. Batang-batang rokok tertumpuk di asbak. Cangkir kopi mengerak dan pakaianmu yang membusuk. Percuma kau mencarinya! Obat atau candu penawar itu tak ada di kamarmu! " Ujarnya memastikan Banyu yang memaksa masuk kamar. " Tadi aku mencarinya sewaktu aku terbangun sebelum menghampirimu. Dan tak ku temukan satu pun. "

Banyu tidak peduli dengan keluhannya. Ia masuk dan mulai menggeledah setiap lekuk ruangan. Banyu sebenarnya tahu. Bahwa obat atau candu penawar itu hanya ada pada berangkas hati yang tertinggal. Tapi ia berharap akan menemukan sesuatu yang bisa mengobati rasa sakitnya yang kambuh itu. Walau akhirnya ia putus asa setelah memorak-porandakan seisi kamarnya.

" Tahan sejenak rasa sakitmu itu! Atau kita cari di taman Partere? Semoga saja kita dapat menemukan sesuatu yang bisa mengobati." Bujuk Banyu, agar ia sedikit tenang. Dan ia menjawabnya dengan manggut.

Banyu bergegas membasuh muka dan membasahi rambutnya. Mereka keluar. Banyu memapahnya dengan sempoyongan. Mentari telah seperempatnya mendaki langit. Tak lama mereka sampai di tujuan.

=====

Mentari telah renta hari ini. memanjati langit tinggal seperempatnya lagi. Wajahnya ranum. Sinarnya pudar di tepi awan. Sunyi mulai berjejal. Suntuk menjemput. Mereka akhirnya dikulum sepi. Tak satupun yang melintas atau pengunjung taman itu yang bisa mereka jadikan obat atau candu penawar. Batang-batang rokok tergeletak tersiakan di tanah.

" Sampai kapan menunggu di sini, Banyu? Sampai aku mati terkapar! " Banyu tertunduk tidak bisa menjawab pertanyaanya.

Lantas ia mengeratkan genggaman jemarinya di leher Banyu. Air liur perlahan merangkak keluar dari mulutnya. Menganga. Menggerayangi dagu perlahan. Bergelayutan di janggut. Akhirnya melayang dan tersiakan di tanah kering. Tak berumput apalagi berlumut. Di tangan kirinya tergenggam erat belati kebencian yang ia cabut dari sarungnya.

Tatapnya nanar penuh kebencian. Merobek. Menyayat. Hati. Banyu meronta. Tapi ia terlau gaib untuk membunuh atau dibunuh Banyu.

Banyu sempoyongan menuju sebuah gedung yang tampak sangar bertapa di samping simpang jalan yang sedikit sepi. Banyu perlahan menaiki tangga menuju lantai tiga. Dan ia masih saja membuntutinya. Gelap. Pekat. Berdesak di setiap ruangan. Anehnya, petang ini tak ada satupun yang bernafas di sana. Tak ada orang atau cicak yang mengecak. Hanya sunyi. Mereka berpesta pora dalam sepi. Banyu menuju teras belakang. Terduduk, merem-melek kesakitan.

Di ufuk timur. Purnama perlahan memanjati langit malam ini dan tersenyum dengan penuh pesona. Sejuk. Luka Banyu mengering. Amarah Rindu terbasuh. Rasa sakit tak lagi menghuni jasadnya. Dibuangnya belati kebencian dari genggamannya. Dan ia kembali terlelap di samping Banyu yang terus menatap tajam wajah purnama. Lagi, ia terbius oleh senyumnya.

=====

Aku terperanjat dari tidurku. Nafasku tersengal menyedak hingga terbatuk. Ternyata aku masih dikulum sunyi dalam rongga malam. Rokok tetap membisu. Hentak detak jarum jam masih menjelajah di angka dua dini hari. Hanya sepi teman tidurku. Rinduku tak mewujud. Tapi aku masih ingat dengan senyuman Purnama. Kini Purnama yang mengganggu tidurku.

Pondok ASAS Bandung, 23 April 2006

Cerpen: Amran Banyurekso

aku hadir

dari rahim malam aku lahir di tengah deru jerit dan kepak kelelawar